Nishfu Sya’ban Menurut Syekh Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha

 

Oleh: Al-Ustadz Said Thalib al-Hamdani (1903-1983)
Ahli fiqih Al-Irsyad, murid Syekh Ahmad Surkati al-Anshari

Malam Nishfu Sya’ban Menurut Syekh Muhammad Abduh

Al-Imam Muhammad Abduh berkata, “Apa yang dikatakan kebanyakan orang bahwa yang dimaksud dengan Lailah Mubarakah adalah malam Nishfu Sya’ban, di mana pada malam itu dibagi-bagikan rezeki dan umur, adalah suatu kelancangan mulut tentang urusan yang ghaib.

Tak ada dalil yang tegas dan tandas tentang itu. Dan kita tidak boleh meng-i’tikadkan sesuatu (yang ghaib) tanpa ada keterangan yang mutawatir dari Rasulullah saw. yang maksum. 

Sebab, apa yang seperti tersebut di atas (tentang pembagian rezeki dan umur serta lainnya) tidaklah benar, karena hadits-hadits yang berkenaan dengan itu sangat kacau dan lemah para rawinya dan banyak kebohongannya. Karenanya, tidak boleh dipergunakan untuk urusan akidah dan keimanan.”

Nishfu Sya’ban Menurut Al-Allamah As-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha 

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dalam Majalah Al-Manaar, jilid VI, halaman 969 menulis, “Doa Sya’ban yang terkenal itu, tidak diizinkan Allah.” (lihat uraian tentang Bid’ah Sya’ban dalam Al Manaar, jilid III)

Ia menjelaskan pula di Majalah Al-Manar, jilid XIV, halaman 250-256, “Diriwayatkan dalam kitab-kitab Al-Maudlu’at wal Wahiyat Wadli’af, bahwa hadits-hadits yang tidak dapat digunakan sebagai hujjah untuk melakukan ibadah banyak sekali, di antaranya:  shalat malam Raghaib di bulan Rajab dan shalat malam Nishfu Sya’ban.” Akan tetapi, syiar Islam yang tak berdasar dan terkenal  ini, yang tidak disebut dalam hadits, telah lama diamalkan oleh umat. Maka, sebagian kalangan ahli fikih dan tasawuf banyak yang tertipu dengan shalat Rajab dan Sya’ban ini, seperti Abi Thalib al-Makky dan Abi Hamid al-Ghazali (Imam Ghazali) yang memiliki kedudukan tinggi. Itu disebabkan oleh kelemahan mereka di dalam ilmu hadits. Para ahli hadits dan fuqaha juga telah menjelaskan kekhilafan dan kekeliruan kedua tokoh ini, seperti Imam Nawawi yang merupakan ahli hadits besar dan sokoguru pengikut Imam Syafi’i.

Dan Imam al-Hafizh Al-Iraqi (Zain al-Din ‘Abd al-Rahim al-‘Iraqi), telah mentarjih hadits-hadits dalam kitab Ihya’ Ulumuddin-nya Imam al-Ghazali, mana yang shahih dan mana yang tidak. Beliau menerangkan dalam kitabnya Al-Fawaid al-Madjmu’ah, “Ada sementara ahli fiqih dan tafsir yang terperdaya dengan keterangan Al-Ghazali bahwa telah diriwayatkan bermacam hadits tentang ini (shalat Nishfu Sya’ban), sebab semua itu adalah batil dan palsu.” Al-Iraqi menyimpulkan bahwa syiar-syiar yang dilakukan pada malam Nishfu Sya’ban tidak punya dasar yang benar dalam Kitab Allah ataupun As-Sunnah.

Sayyid Murtadla az-Zabidi, seorang pensyarah Ihya Ulumuddin, telah berkata, “Para ahli hadits telah menerangkan dalam kitab Al-Maudlu’at bahwa semua khabar tentang shalat Sya’ban dan mendirikannya adalah termasuk sesuatu yang orang tidak patut mengamalkannya walaupun dengan niat yang baik.”

Adapun riwayat-riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Aqil (Usman bin Aqil bin Yahya) tidaklah benar dan tidak sah. Dan itu merupakan kebodohannya dalam soal hadits. Lagipula, ia tidak menukil dari kitab ulama-ulama terpandang, dan tidak menunjukkan ke-masyru’-annya.

Ibadat-ibadat pada malam itu (Nishfu Sja’ban) dan malam Raghaib telah terjadi sejak waktu lama dan diterima oleh banyak ahli tasawuf, tetapi disangkal oleh para ahli hadits dan ahli fiqih dikarenakan tidak kuat dasarnya. Sedangkan Allah Ta’ala telah melengkapkan urusan agama, dan barang siapa berani melebihi atau menambahnya, berarti sama dengan orang yang menguranginya, dan perbuatan kedua-duanya itu adalah bid‘ah.”

Dalam Al-Manar, jilid 24, halaman 424, Rasyid Ridha juga menjelaskan, “Para pemalsu hadits telah banjak membuat hadits yang menerangkan tentang keistimewaan malam Nishfu Sja’ban, dan keutamaan beribadah pada malan harinya dan berpuasa pada siang harinya. Perbuatan itu memberi jalan bagi raja-raja dan penguasa-penguasa ahli bid’ah untuk mengadakan upacara keagamaan. Dan selanjutnya beliau menerangkan, ”Telah kami terangkan dalam Al-Manar jilid III tentang bid’ahnja malam itu, dan kemunkarannja yang berjumlah 16 bid’ah, di antaranya do’a yang terkenal itu.”

Syekh Rasyid Ridha juga berkata, “Kemudian kami ditanya: Adakah diriwayatkan tentang Nishfu Sja’ban dengan hadits-hadits yang benar, yang dapat dijadlikan pegangan untuk mengamalkannya? Maka kami jawab dalam jilid VI Al-Manar dengan jawaban yang ringkas, yang tidak lebih dari dua halaman. Di antaranya kami terangkan, bahwa sebaik-baik hadits yang menerangkan tentang ini ialah hadits Ibnu Majah yang katanya bersumber dari Ali bin Abi Thalib ra., yaitu: ‘Jika telah sampai malam pertengahan bulan sya’ban (nisfu Sya’ban), shalatlah kalian pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena Allah turun pada saat matahari terbenam ke langit dunia, dan Dia berkata: Ketahuilah, siapa yang meminta ampun kepada-Ku akan Aku ampuni. Ketahuilah, siapa yang meminta rezeki kepada-Ku akan Aku berikan rezeki. Ketahuilah, siapa yang terkena musibah akan Aku hilangkan (musibahnya). Ketahuilah, dan seterusnya (turunnya Allah) sampai terbit fajar.’

Namun demikian, seperti dijelaskan oleh ahli hadits Abdurrazaq dalam sebuah karangannya, para ahli hadits berkata bahwa hadits tersebut lemah. Namun menurut kami, sebenarnya hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat perawi Abu Bakar Abdullah bin Muhammad yang terkenal dengan nama lbnu Abi Busra yang dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Mu’in bahwa dia pemalsu hadits.”

Imam Turmuzi dan Ibnu Majah menyebutkan tentang turunnya Allah pada malam tersebut ada hadits tersendiri yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan hadits Abi Musa yang bunyinya, “Tuhan mengetahui pada malam Nishfu Sya’ban dan memberi ampun kepada semua manusia kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.”

Hadits ini salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Walid bin Muslim al-Mudallis (pengabur hadits), dari riwayat Ibnu Lahi’ah, dan dia lemah.

Inilah yang hendak kami nukilkan untuk pembaca dari fatwa Rasyid Ridha dalam Majalah Al-Manar, jilid 3, 6, 14 dan 24. Bagi yang belum puas silahkan membaca jllid-jilid tersebut di atas.

  • Dinukil dari buku: “Sorotan terhadap Kisah Maulid, Nisfu Sya’ban, dan Manakib Syekh AK Jailani” oleh Ustadz Said Thalib Al-Hamdani; Penerbit: H.S.A AL-HAMDANY, Pekalongan, Tahun 1971.

[1] Tulisan tentang Ustadz Said Thalib al-Hamdani dapat dibaca di: https://al-irsyad.com/said-thalib-alhamdani-ahli-fiqih-al-irsyad/

H. Tubagus Sjoe’aib Sastradiwirja: Ulama yang Berjuang Melalui Seni

Oleh ABDULLAH BATARFIE (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)

Haji Toebagus Sjoe’aib Sastradiwirja, bangsawan Banten yang juga ulama dan seniman murid Syekh Ahmad Surkati

Nama lengkapnya adalah Toebagoes Sjoe’aib Sastradiwirja. Ia menyandang titel Haji setelah melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Sementara gelar Toebagoes (Tubagus) menandakan ia keturunan bangsawan (ningrat) Kesultanan Banten. Sebuah gelar yang mulai digunakan sejak masa Maulana Yusuf, Sultan Banten kedua.

Bahkan bila dirunut lebih dalam lagi, konon sebetulnya Tubagus itu adalah gelar Sayyid, yang menunjukan silsilahnya bersambung kepada para pendakwah Islam yang datang dari Arab (Hadramaut) yang kemudian melahirkan para penguasa di Cirebon dan Banten. Gelar Tubagus lazim dipakai oleh kaum laki-laki, sedangkan untuk perempuannya disebut dengan Ratu.

Tubagus Sjoe’aib adalah seorang tokoh agama atau ulama kelahiran Serang, Banten, 8 Februari 1894. Ia alumni Madrasah Al-Irsyad Batavia di bawah asuhan Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Selain ulama, ia juga dikenal sebagai seniman perupa dan pelukis. Ia tercatat sebagai salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), bersama Agus Djaja yang menjadi ketua pertamanya. Lahirnya Persagi dianggap sebagai tonggak awal sejarah seni lukis modern berciri Indonesia. Kelahirannya diilhami oleh  S. Soedjojono, yang kelak dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern, terkenal dengan karyanya berjudul “Kawan-Kawan Revolusi” dan “Di Depan Kelambu Terbuka”.

BACA SELENGKAPNYA “H. Tubagus Sjoe’aib Sastradiwirja: Ulama yang Berjuang Melalui Seni”

Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia 1914

Oleh: Abdullah Abubakar Batarfie (Ketua Pusat Dokumentasi dan Kajian Al-Irsyad Bogor)

MADRASAH AL-IRSYAD SURABAYA – 1935

BAGI yang pernah merasakan hidup di negeri yang masih berstatus sebagai Hindia Belanda lebih dari 100 tahun lalu, tentu akan mengalami masa pengklasifikasian golongan penduduk yang didasarkan kepada stratifikasi sosial, dimana setiap orang tidak bisa sesukanya untuk “Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah“. Sebuah peribahasa yang menggambarkan suatu kondisi yang setara, sama atau seimbang.

Ketidak setaraan itu berlaku pada semua sendi kehidupan masyarakat, baik dalam hal nasab (keturunan), pangkat (kedudukan) dan harta (kekayaan). Karena itu pula tidak semua anak-anak negeri memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang sama, Demikian pula dengan status sosial sesorang akan teridentifikasi dari gelar yang disandang dan pakaian yang dikenakan.

Gelar-gelar yang disandang, bahkan ada yang menggunakan dalih agama, dimana tidak sembarang orang menyematkan gelar itu di depan namanya. Meski tidak terancam dipidana, pakaian yang dikenakan pun disesuaikan dengan derajat para pemakainya.

BACA SELENGKAPNYA “Fatwa Solo dan Lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia 1914”

Ponpes MWI Kebarongan dan Al-Irsyad

Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan, Kabupaten Banyumas (Jawa Tengah)

Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan adalah ponpes modern yang terletak di Gerumbul Teleng, Kebarongan, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Indonesia. Ponpes ini juga merupakan Ponpes tertua di wilayah Banyumas, didirikan pada 1878 oleh KH Muhammad Habib bin Nur Hamdani.

Sejak didirikan sampai saat ini Ponpes MWI telah mengalami 12 kali pergantian pemimpin.  Yang menarik, dari 12 kyai yang pernah memimpin Ponpes ini, tiga orang adalah alumnus Madrasah Al-Irsyad Batavia dan murid langsung dari Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Mereka adalah KH Marghoni, Kyai Sunan Muhdir, dan Kyai Asifudin Zawawi. Kyai Sunan Muhdir ini adalah pengarang buku Sulamul Ma’rifah, buku tentang ilmu sharaf.  Selain tiga nama tersebut, ada pula KH Munji Munir, yang tidak lain adalah ayah dari Drs. HM Said Munji, SH, MH, mantan sekretaris jenderal Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah di masa periode akhir Ketua Umum Geys Amar SH.

Informasi ini kami dapatkan dari buku Al-Irsyad Mengisi Sejarah Bangsa yang ditulis oleh H. Hussein Badjerei, pakar sejarah Al-Irsyad yang beberapa kali menjabat sekretaris jenderal PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Sayang tidak dijelaskan kapan mereka berempat lulus dari Madrasah Al-Irsyad, juga apakah ada lagi keluarga Pesantren Kebarongan ini yang dulu menempuh pendidikan di Madrasah Al-Irsyad selain empat nama tersebut. Bisa jadi ada, dan ini perlu penelitian lebih jauh.

KH Munji Munir adalah ulama yang cukup dikenal di Karisedanan Banyumas di tahun 1960-an sampai 1980-an. Beliau sangat akrab bergaul dengan tokoh-tokoh Al-Irsyad di Purwokerto dan Cilacap, terutama Ahmad Bamu’alim Ba’syir (mantan ketua umum PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto) dan Ghozie Ba’syir (mantan ketua PC Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap). Mereka bertiga sudah almarhum.

Said Munji sendiri, saat menjabat Sekjen PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Said Munji sendiri adalah hakim tinggi di Mahkamah Agung. Kemudian beliau diangkat berturut-turut menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama (Tingkat Banding) di Semarang (Jawa Tengah) dan kemudian di Mataram (NTB). Kemudian menjabat sebagai Ketua PTA Banjarmasin (Kalsel), dan terakhir Ketua PTA Yogyakarta (DIY) sebagai penutup 36 tahun karirnya sebagai hakim agama. 

DRS. HM SAID MUNJI, SH, MH. Kebarongan itu kampung sarjana

Ponpes ini memiliki tiga jenjang pendidikan, yaitu MI, MTs dan MA Wathoniyah Islamiyah. Ada empat asrama yang menampung ribuan siswa-siswinya, yaitu dua asrama putra (Asrama Umar bin Khottob dan Asrama Abu Bakar As-Sidiq), dan dua asrama putri (Asrama Aisyah dan Asrama Khadidjah).

Di Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah tidak hanya mempelajari mata pelajaran pesantren seperti tauhid, nahwu, shorof, faraid, dan lain-lain, tapi juga mempelajari pelajaran umum, seperti Matematika, IPA, IPS dan lainnya. Para santrinya berasal dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari Malaysia dan Singapura. Di Ponpes ini ada diadakan pula beberapa kegiatan ekstrakulikuler seperti BKC, marching band, hadrah, PKS, Keputrian dan lain-lain.

Meski berada di Kabupaten Banyumas yang merupakan basis NU, Kampung Kebarongan termasuk Ponpes Madrasah Wathoniyah Islamiyah dikenal sebagai basis Islam modernis (reformis). Hanya saja tidak jelas apakah pesantren ini dari awal berdirinya sudah berbasis Islam modernis ataukah baru berubah menjadi modernis/reformis setelah kembalinya ustadz-ustadz mereka dari pendidikan di Madrasah Al-Irsyad Batavia.

“Kebarongan memang bukan basis NU. Ini agak berbeda dengan wilayah Banyumas lainnya,” kata Said Munji kepada Pusdok Al-Irsyad Bogor. Untuk pelajaran aqidah-tauhid, kitab pegangan utamanya adalah Fathul Majid, yang ditulis oleh Abdurrahman bin Hassan Al Syaikh, dan merupakan syarah (penjelasan) dari Kitab At-Tauhid al-Ladzi Huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid karya Muhammad bin Abdul Wahhab. Tak heran kalau kemudian Ponpes ini dituduh beraliran wahabi oleh kalangan tradisionalis, sebuah tuduhan yang aneh karena pesantren ini juga mengajarkan kegiatan seni musik seperti marching band dan hadrah yang tentunya sangat ditentang kelompok salafi-wahabi.

Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Jurnal Al-Qalam, terbitan Balitbang Depag Makassar (2020), pengasuh Ponpes ini,  Dr  KH Ahmad Janan Asifudin juga menolak tuduhan ini. “Memang ada beberapa orang dengan paham Wahabi yang pernah mengajar di sini, tapi kemudian mereka keluar karena berseberangan dengan pemahaman di Ponpes MWI,” katanya.

SANTRI DAN PONPES MWI KEBARONGAN JAMAN DULU. Berpaham modernis

Tauhid yang dikembangkan bagi santri dan alumni Ponpes MWI adalah Tauhidnya Rasulullah saw. “Tauhid yang murni dan tidak dikotori oleh kemusyrikan. Di sisi lain hendaknya tauhid menjadi ruh dan landasan menyeluruh dari segala sisi kehidupan kita,” kata Ahmad Janan Asifudin.

Said Munji juga menjelaskan, Kebarongan itu juga sudah lama dikenal sebagai kampung sarjana. “Rata-rata warganya kuliah, bahkan banyak yang menjadi doktor dan guru besar,” hatanya. Ia menyebutkan beberapa di antaranya, seperti Prof Dr. Susanto Zuhdi, ahli sejarah di Universitas Indonesia. “Kebetulan ia satu angkatan dengan saya,” tambah Said.

Ada pula Prof. Muhajir Markum, ahli linguistik yang juga guru besar di UI; Prof dr Rifki Muslim, mantan Direktur RS PKU Muhammadiyah Roemani, Semarang; Prof Dr Saad Abdul Wahid (paman Said Munji) di Jogjakarta; dan Dr. Inayah Asifudin, yang pernah menjadi dekan Fakultas Ushuludin UIN Jogjakarta.* (MANSYUR ALKATIRI)

Tokoh Peneguh Integritas Irsyadi Itu Kini Telah Pergi

Oleh: ABDULLAH ABUBAKAR BATARFIE (Ketua Pusdok Al-Irsyad Bogor)

Geys Amar, 17 Des. 2017 Muktamar Bogor2

Kabar duka cita datang dari mantan Ketua Umum PP Al-Irsyad Al-Islamiyyah Bapak H. Geys Amar, SH. Ia dikabarkan meninggal dunia pada hari Senin kemarin (26/4/2021), sekitar pukul 15.00 WIB.

Kabar kepergian salah satu tokoh senior Al-Irsyad ini kontan mengundang banyak perhatian keluarga besar Al-Irsyad yang merasakan kehilangan akan sosoknya dengan berbagai ungkapan yang dirasakan.

Allahyarham Geys Machfudz Amar, SH wafat di Jember (Jawa Timur) dalam usia 78 tahun dan pada hari yang sama pula, tokoh besar Al-Irsyad itu dimakamkan tepat di hari yang sama beliau pergi meninggalkan kita semua untuk selama-lamanya, saat di mana kita umat Islam tengah melaksanakan ibadah shaum pada hari ke-14 bulan Ramadhan 1442 Hijriyah, bulan yang penuh rahmat dan ampunan di mana semua doa shoimiin insya Allah akan dikabulkan….Amiin.

Innalillahi wainna ilaihi raaji’un, Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu ‘anhu. Selamat jalan guru kami, bapak kami, paman kami dan panutan kami, AMI GEYS.
BACA SELENGKAPNYA “Tokoh Peneguh Integritas Irsyadi Itu Kini Telah Pergi”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 7 – HABIS

Syekh M. Rasyid Ridha
Syekh M. Rasyid Ridha

Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Ketujuh: Kriteria Jalan yang Lurus – HABIS

            صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ , غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ

Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS A-Fatihah: 7)

Ustadz Muhammad ‘Abduh menyatakan bahwa al-shirât al-mustaqîm (jalan yang lurus) adalah jalan yang akan mengantarkan kita pada kebenaran. Akan tetapi, Allah SWT tidak menjelaskannya seperti dalam Surah Al-‘Ashr, tetapi hanya memberikan penjelasan dengan mengaitkannya kepada orang orang yang menempuh jalan ini. Hal ini sama seperti firman-Nya dalam surah Al-An’âm setelah menyebutkan beberapa rasul yang terkenal,

            اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ فَبِهُدٰىهُمُ اقْتَدِهْ

Mereka itulah orang-orang yang telah diberi hidayah oleh Allah. Ikutilah petunjuk mereka.” (Al-An’âm -6:90)
BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 7 – HABIS”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 6

Syekh M. Rasyid Ridha

Oleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Keenam: Makna dan Hakikat Hidayah

اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ

Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.” (QS Al-Fatihah: 6)

Terlebih dahulu Ustadz Muhammad ‘Abduh mengemukakan pendapat para ulama tentang makna hidayah secara etimologis. Menurut mereka, hidayah adalah petunjuk yang lembut tentang sesuatu yang akan mengantar pada perkara yang dicari. Selanjutnya, beliau menjelaskan jenis-jenis dan tingkatan-tingkatan hidayah.

Allah Ta’ala, kata Ustadz Muhammad ‘Abduh, telah menganugerahkan empat jenis hidayah kepada manusia sebagai pengantar menuju kebahagiaan.

Pertama, hidayah insting (naluri). Hidayah ini sudah diberikan kepada manusia sejak lahir. Ketika lahir, bayi akan memberitahukan rasa laparnya secara naluri, melalui tangisan. Ketika susu ibunya menempel di mulutnya, secara naluriah ia langsung saja meraihnya dan menetek air susu ibunya.
BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 6”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 5

Rasyid Ridha RepublikaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Kelima: Beribadah dan Memohon Pertolongan Allah  

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ

Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” (QS Al-Fâtiẖah: 5)

Ustadz Muhammad ‘Abduh pernah bertanya, “Apakah ibadah itu? Sebagian mahasiswanya menjawab, “Ibadah adalah taat sepenuh hati.” Sebagian yang lain menambahkan, “Mengagungkan dan mencintai Allah.”
BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 5”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 4

Rasyid Ridha RepublikaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Muhammad Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Keempat: Hakikat Hari Pembalasan  

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ

Yang Menguasai Hari Pembalasan.” (QS Al-Fatihah: 4)

‘Ashim, Al-Kisa’i, dan Ya’qub membaca kata “malik” secara panjang, mâliki. Sedangkan, selain mereka membacanya secara pendek, malik. Penduduk Hijaz pun membacanya secara pendek.

BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 4”

TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 3

Rasyid Ridha RepublikaOleh: Syekh Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935)

Ulama besar pelopor pembaruan Islam, sahabat dan guru ideologis Syekh Ahmad Surkati, tokoh sentral Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Syekh Rasyid Ridha adalah murid utama Syekh Muhammad ‘Abduh di Mesir.

Tafsir Ayat Ketiga: Memahami Rahmat Allah  

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Fâtiẖah: 3)

Ustadz Muhammad ‘Abduh mengatakan bahwa makna kedua kata ini telah dijelaskan di atas (dalam penafsiran basmalah). Penjelasan ini sekadar pengulangan.

Rahasia di balik kedua kata ini cukup jelas bahwa pemeliharaan Allah terhadap seluruh alam bukan karena Allah memerlukan mereka untuk mendatangkan manfaat atau menghindari bahaya. Namun, hal itu semata karena kasih sayang dan kebaikan-Nya yang diberikan merata kepada seluruh alam.

BACA SELENGKAPNYA “TAFSIR AL-FATIHAH, Rasyid Ridha – Ayat 3”