Ahmad Surkati di Jamiat Khair Indonesia

SYAIKH AHMAD SURKATI (1875-1943), Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia (3)

Oleh: Prof. Dr. Bisri Affandi, MA

KIPRAH AHMAD SURKATI DI JAMIAT KHAIR, BATAVIA

Jpeg
BEKAS GEDUNG SEKOLAH JAMIAT KHAIR DI PEKOJAN. Di sinilah Syekh Ahmad Surkati mengawali kiprah intelektualnya di Indonesia (FOTO: Mansyur Alkatiri)

Dari dokumen-dokumen itu dikatakan, Ahmad Surkati datang ke Indonesia di tahun 1329 H atau tahun 1911 M.[1] Ia didatangkan oleh Perguruan Jamiat Khair, suatu perguruan yang anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan Ba-Alawi (keluarga besar Alawi) di Jakarta.[2]

Maksud pengurus Jamiat Khair mendatangkan Ahmad Surkati ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan guru. Menurut Deliar Noer, sekolah Jamiat Khair bukan lembaga pendidikan yang semata-mata bersifat agama, tetapi juga mengajarkan ilmu berhitung, sejarah, dan pengetahuan umum lainnya.[3]

Bahasa pengantar di Perguruan Jamiat Khair adalah bahasa Melayu atau Indonesia. Sedang bahasa asing yang diajarkan selain bahasa Arab adalah bahasa Inggris yang termasuk mata pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda yang sengaja tidak diajarkan di sekolah ini.

Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajarnya, Jamiat Khair mendatangkan guru-guru dari daerah dan luar negeri. Sebelum Ahmad Surkati, organisasi ini telah mendatangkan al-Hashimi, guru asal Tunis yang tiba di Indonesia sekitar awal 1911.

SYEKH AHMAD SURKATI AL-ANSHARI
SYEKH AHMAD SURKATI AL-ANSHARI

Kedatangan Surkati di Jakarta disambut gembira dan penuh hormat oleh pengurus dan warga Jamiat Khair. Bahkan salah seorang pemukanya, Syekh Muhammad bin Abdul Rahman Shihab menyerukan pada masyarakat Arab untuk menghormati Ahmad Surkati. Penghormatan itu bukan saja karena ia mempunyai ilmu yang mendalam, tapi juga kesabaran, ketekunan, dan keikhlasannya mengajar murid-muridnya,dan dalam usaha mengembangkan perguruan Jamiat Khair.

Abdul Rahman Shihab dalam suratnya yang dikirim pada pimpinan sekolah keluarga Alawi mengatakan:

Kami beranggapan bahwa selama ini jarang sekali orang yang mencurahkan usaha baiknya, berkeliling ke berbagai negeri dengan penuh kesungguhan. Baru sekarang Allah memberikan rahmat-Nya pada kita dengan dibangkitkannya seorang hamba-Nya, Syaikh Surkati, seorang alim yang banyak berbuat kebaikan.”[4]

Kabar gembira kedatangan Ahmad Surkati segera tersebar luas di kalangan umat Islam, khususnya masyarakat Arab, hingga Perguruan Jamiat Khair yang waktu itu memiliki tiga buah sekolah, dua di Jakarta (Pekojan dan Krukut) dan satu di kota Bogor, makin memperoleh perhatian umat Islam.

Ahmad Surkati lalu ditugasi memimpin sekolah yang terletak di Pekojan. Dia juga memperoleh kepercayaan mengurus pengajaran dan memeriksa sekolah-sekolah yang lain. Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju dan berkembang pesat. Ini terlihat dari banyaknya murid yang masuk, yang tak saja datang dari Jakarta dan sekitarnya, tapi juga dari luar Jakarta, termasuk Sumatera.

Kemajuan itu mendorong pengurus Jamiat Khair mendatangkan lagi guru dari luar negeri. Lewat perantaraan Ahmad Surkati didatangkanlah empat guru baru, Syekh Muhammad al-Aqib al-Sudani, Ustadz Abu al-Fadl Muhammad Sati Surkati, Syekh Muhammad Nur bin Muhammad Khayr al-Ansari al-Sudani, dan Syekh Hasan Hamid al-Ansari al-Sudani.[5]

Namun, sambutan baik dan gembira keluarga besar Jamiat Khair itu tidak berlangsung lama. Menjelang tahun ajaran ketiga, saat berkembang pesatnya usaha-usaha memajukan sekolah-sekolah itu, telah terjadi perbedaan pendapat yang menyebabkan perselisihan antara Ahmad Surkati dan pengurus Jamiat Khair.

Perselisihan itu terjadi tatkala pengurus Jamiat Khair memperoleh laporan negatif tentang Ahmad Surkati, yaitu ketika perjalanan keliling Jawa Tengah, sebagai tamu golongan Arab Alawi, ia singgah di Solo dan diterima di rumah al-Hamid dari keluarga al-Azami. Saat itulah Sa’ad bin Sungkar bertanya tentang hukum perkawinan antara gadis keturunan Alawi dengan pria bukan keturunan Alawi menurut syariat Islam. Jawaban Ahmad Surkati singkat dan tegas: “Boleh menurut hukum syara’ yang adil.”

Jawaban yang dikenal sebagai “Fatwa Solo”[6] itu telah mengguncang masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa itu dianggap sebagai penghinaan, dan mereka menuntut pada pengurus Jamiat Khair agar Ahmad Surkati mau mencabut fatwanya.

Permintaan pencabutan fatwa itu dijawab oleh Ahmad Surkati, bahwa apa yang dia sampaikan benar, baik dilihat dari Al-Qur’an maupun hadits. Sebag itu, dia keberatan menarik fatwanya, dan ia sama sekali tak ingin mencampuri urusan mereka mengenai setuju-tidaknya.

Mengetahui pendiriannya yang tetap mempertahankan fatwa itu, maka mulailah para pengurus Jamiat Khair menjauhkan diri dari Ahmad Surkati. Semenjak peristiwa itu pula Ahmad Surkati tak pernah diundang lagi dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan pengurus Jamiat Khair.

Lebih jauh lagi, murid-murid perguruan Jamiat Khair bahkan dilarang menghafal syair Ahmad Surkati yang berjudul Ummahat al-Akhlaq. Syair ini berbunyi:

“Tidaklah kebanggaan itu karena pakaian atau keturunan,
dan bukan pula karena tumpukan uang atau emas,
tetapi kemuliaan itu karena ilmu dan adab,
dan agama adalah pelita bagi orang yang berakal.” [7]

Mengetahui tak lagi disukai bertugas di Perguruan Jamiat Khair hingga dia dikucilkan dari lingkungan mereka, setelah kurang lebih dua tahun mengabdi, Ahmad Surkati minta mengundurkan diri dari perguruan itu pada tanggal 15 Syawal 1332 H atau bertepatan dengan 6 September 1914 M. Sesuai dengan perjanjian, mestinya Jamiat Khair harus menyediakan tiket kapal bagi dia dan kawan-kawannya, serta biaya lainnya untuk perjalanan kembali ke Makkah. Namun, saat Surkati meminta supaya kewajiban itu dipenuhi, pengurus Jamiat Khair menolak permintaan itu dan menjawab, “Jamiat Khair tidak mengenal kewajiban itu kepadamu.”[8]

[1] A.S. Mahfoed, Riwayat Singkat Syekh Ahmad Muhammad Assoorkaty Al-Anshary, Manuskrip, hal. 2

[2] Siaran Majlis Da’wah, I, hal. 4. Lebih lanjut tentang Jamiat Khair lihat Husein Haikal, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia 1900-1942”, Disertasi Doktor dalam bidang sejarah, Universitas Indonesia, 1986, hal. 143-170.

[3] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1980, hal. 69.

[4] Al-Hashimi, hal. 19.

[5] Sulaiman Naji, Tarikh, I, hal. 32.

[6] Siaran Majlis Da’wah, Seri 2, hal. 5; Mahfoed, hal. 2-3.

[7] Sulaiman Naji, Tarikh, I, hal. 34-35.

[8] Sulaiman Naji, Tarikh, I, hal. 34; Siaran Majlis Da’wah, No. 1, 1972.

DARI: Buku SYAIKH AHMAD SURKATI (1875-1943), Pembaharu & Pemurni Islam di Indonesia, karya Prof. Dr. Bisri Affandi, MA (IAIN Sunan Ampel, Surabaya)

BACA ARTIKEL LAINNYA:
Ahmad Surkati, Masa Studi di Madinah dan Makkah
Tabir di Masjid untuk Kaum Wanita

5 thoughts on “Ahmad Surkati di Jamiat Khair Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *